CITRADEPOK.COM | Depok – Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Politik Kota Depok Bernhard, SH, menyuarakan pendapatnya terkait adanya sikap enam fraksi di DPRD Kota Depok yakni PDI Perjuangan, Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat Persatuan Pembangunan dan Fraksi PKB-PSI yang melakukan mosi tidak percaya dan menolak memimpin rapat paripurna yang dilakukan oleh Ketua DPRD Kota Depok, H TM Yusufsyah Putra. Bernhard menegaskan hal itu tidak memiliki alasan hukum dan bertentangan dengan Peraturan Pemerintah tentang Tata Tertib DPRD.
Demikian juga penolakan untuk tidak memimpin rapat paripurna yang beragendakan penutupan masa sidang pertama tahun sidang 2022, serta pembukaan masa sidang kedua tahun sidang 2022 dan pembentukan pergantian AKD DPRD Depok adalah tidak sah menurut hukum.
“Rapat Paripurna adalah sah menurut hukum. Pasalnya, surat undangan rapat paripurna sudah ditandatangani oleh Ketua. Karena posisi Ketua tidak dalam posisi berhalangan sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, dan memiliki Legal Standing memimpin Rapat Paripurna”, pungkasnya.
Selanjutnya menurut Bernhard, SH. selaku Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Politik Kota Depok menegaskan, demikian juga dalam hal Penentuan Ketua DPRD mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan ini juga memiliki turunanya di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018.
Pada Pasal 164 ayat 3 tertulis ketua DPRD Kabupaten/Kota ialah anggota DPRD Kabupaten/Kota yang berasal dari partai politik yang memperolah kursi terbanyak pertama di DPRD kabupaten/kota.
Menurut Bernhard, pasal tersebut secara tekstual menyatakan yang menjadi pimpinan adalah partai yang memiliki kursi terbanyak di DPRD. Begitu juga untuk kursi wakil dan kepemimpinan dibawahnya. Pimpinan DPRD diberhentikan sebagai Pimpinan DPRD dalam hal partai politik yang bersangkutan mengusulkan pemberhentian sesuai ketentuan perundang-undangan, bukan Anggota DPRD Depok dari fraksi-fraksi. Karena pemberhentian Ketua DPRD Depok adalah kewenangan Partai Politik Pemenangan Pemilu Tahun 2019 yaitu PKS.
“Jadi tidak ada alasan Fraksi-fraksi di DPRD Depok untuk mengusulkan pemberhentian Ketua DPRD Kota Depok”, tegas Bernhard.
Pimpinan DPRD diberhentikan sebagai Pimpinan DPRD dalam hal partai politik yang bersangkutan mengusulkan pemberhentian sesuai ketentuan perundang-undangan. Bukan Anggota DPRD Depok atau Fraksi-fraksi.
Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Anggota DPRD. Artinya, kedudukan DPRD dan Kepala Daerah beserta jajarannya adalah sejajar, bersama-bersama, sebagai mitra. DPRD adalah elemen Pemerintah Daerah. Mekanisme Hak Interpelasi bukan instrumen melakukan impeachment kepada Walikota. Mosi Tidak Percaya kepada Walikota/Wakil Walikota memiliki implikasi politik dan hukum. Hak Interpelasi untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
“Apakah hak interpelasi yang diusulkan tersebut di atas memenuhi rumusan atau limitatif tersebut di atas. Perlu dikaji ulang kembali sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah”, uangkapnya menambahkan.
Bernhard juga menanggapi mengenai adanya usulan Anggota DPRD Depok untuk mengajukan Interpelasi, bahwa mekanisme pengajuan Hak Interpelasi harus diputuskan dalam Rapat Paripurna, yang dipimpin oleh Ketua DPRD Kota Depok. Jika tidak dipimpin oleh Ketua DPRD Kota Depok, maka usulan hak interpelasi tidak sah dan cacat hukum.
“Sebenarnya Hak Interpelasi itu tidak bisa menjatuhkan Walikota/Wakil Walikota. Jika Hak Interpelasi yang diajukan DPRD Kota Depok tidak efektif untuk meminta penjelasan Walikota/Wakil Walikota atas kebijakan Walikota/Wakil Walikota yang realitasnya tidak berdampak luas dan menimbulkan persoalan pada rakyat Depok, maka Hak Interpelasi itu tak ada manfaatnya nya dan gagal”, tandasnya.
Dalam hal upaya adanya dugaan mencoba menjatuhkan Walikota/Wakil Walikota, jika DPRD Depok menolak pembahasan RAPBD itu tidak ada masalah. Karena jika DPRD Depok menolak, maka Walikota Depok bisa mengeluarkan Peraturan Walikota untuk menjalankan APBD tahun berikutnya. Pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) kerap mandek ketika tidak tercapai kesepakatan antara pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Bahwa kepala daerah tidak ragu mengambil jalan buntu alternatif dalam mengesahkan APBD tanpa persetujuan DPRD, jika memang pihak legislatif tidak memberikan sepakat.
APBD yang disahkan tanpa melalui perda akan tetap sah secara hukum. Perencanaan anggaran juga dinilai lebih jelas. Maka Walikota mengeluarkan Peraturan Walikota Depok. Demikian pernyataan yang disampaikan oleh Bernhard, SH. selaku Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Politik Kota Depok melalui awak media./brl
Comment